TIRTA AMARTA
(AIR KEHIDUPAN)
Oleh : Sugiarti
“Kau kira perkara luka hati yang menganga hanya kau saja yang punya?”, tukas Wibi sedikit tegas. Jarinya mencongkel opener soft drink dingin yang dari tadi hanya digenggamnya. Perlahan ia minum. Obrolannya bersama Zion dalam temaram bintang malam masih soal kegagalan pernikahan.
Kasandra, tunangan Zion, membatalkan pernikahannya dengan Zion dan memilih lelaki lain yang lebih mapan secara perekonomian.
“Bi, kau tahu kan bagaimana perjuanganku untuk Kasandra dan keluarganya?”, ucap Zion penuh kekecewaan.
“Yes, I see”, jawab Wibi singkat.
“Semua yang kulakukan percuma saja!”, ucap Zion kesal. Matanya berkaca, tentu dia mengingat semua kenangan bersama Kasandra.
Wibi tahu sahabatnya itu sedang terpuruk karena kisah cinta yang buruk. Wibi cukup faham bagaimana sakitnya hati karena dikhianati.
“Harusnya kau bersyukur, Tuhan telah menunjukkan bagaimana sifat Kasandra sebenarnya sebelum kau jadi suaminya,” sambung Wibi. Di sebuah teras rumah sederhana, dua pemuda mulai serius bicara perkara cinta.
“Kau tidak tahu bagaimana hancurnya rasaku!”, Zion masih menunjukkan kekesalannya, kekecewaannya, meski sebenarnya dia pun tak bisa apa-apa dengan kondisi yang ada.
Wibi menghela nafas. Seolah Wibi bisa merasakan apa yang Zion rasakan. Perlahan ia meneguk lagi air dari dalam kaleng soft drink kesukannya itu.
“Pengkhianatan cinta memang selalu menorehkan luka, tapi jangan biarkan dirimu binasa dalam luka yang menganga,” ucap Wibi.
“Zi, apa kau tahu kenapa aku merantau ke Jakarta?”, tanya Wibi yang sebetulnya tidak butuh jawaban Zion.
“Aku memutuskan pergi ke Jakarta juga karena perkara cinta”, lanjut Wibi.
“Kau juga pernah gagal menikah?”, tanya Zion penasaran.
“Bukan seperti itu”, jawab Wibi singkat dan tenang.
Pikiran Wibi melayang. Menyelami ingatan pada 18 tahun silam, saat ia berusia 12 tahun. Keluarganya hancur karena sebuah kesetiaan yang gugur. Ayahnya menjalin cinta dengan wanita yang bukan ibunya.
“Bi…bi…kenapa diam?”. Zion berusaha menyadarkan Wibi dari lamunannya. Wibi menatap Zion. Kemudian ia palingkan pandangan pada langit malam saksi hati yang tersakiti. Tak ingin rasanya Wibi membuka luka lama. Tanpa terasa setetes air mengalir dari sudut mata. Tangannya menjadi lemas dan tak ingin lagi menggenggam soft drink dingin itu. Perlahan ia membuka cerita lama.
“Keluargaku hancur karena kesetiaan yang gugur”, ucap Wibi mengawali cerita. Ia masih cukup tegar untuk lanjut bercerita.
“Ayahku menjalin cinta dengan wanita lain. Ibuku sangat mencintai ayahku. Ibuku depresi hingga nyaris bunuh diri. Namun meski tersakiti, ibuku tetap mencintai. Padahal ayahku sudah tak peduli lagi. Ayahku seperti orang asing di rumah kami. Dia sudah tak peduli dengan anak dan istri. Sungguh ini ujian berat bagi kami. Terlebih, ibu masih mengharap ayah kembali mencintai”.
Rasa sesak dalam dada mengenang luka orang tua. Wibi menyaksikan ketulusan hati dan pengorbanan ibu sepenuhnya, namun dunia memberi cerita yang berbeda. Pengkhianatan cinta telah merusak keharmonisan, menyisakan goresan luka bagi keluarganya.
“Zi, apa kau tahu? waktu tidak menyembuhkan semua luka. Hanya jarak yang bisa mengurangi sengatannya”. lanjut Wibi
“Lalu kau pergi merantau ke Jakarta?”, tanya Zion. Zion yang patah hati karena ditinggal Kasandra pergi, perlahan beralih pada cerita Wibi yang tampaknya lebih terluka darinya.
“Ya. Tepatnya setelah lulus SMA, aku merantau ke Jakarta, dengan bekal uang seadanya. Rupiah yang terkumpul hasil kerja. Hari-hari semakin berat untuk kujalani. Ayahku tak peduli, seperti orang mati hati. Ibuku walau tersakiti masih tetap mencintai. Bagaimana aku sanggup untuk menyaksikan ibu, cinta pertama dalam hidupku, terus-terusan tergugu dalam tangis pilu. Ibuku tak mau menggugat cerai. Ibuku yakin ayahku akan berubah kembali. Kembali seperti dulu yang mencintai ibuku. Keluarga kami carut marut. Bisnis keluarga kami mulai bangkrut. Aku masih SMP, tapi aku harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap lanjut bersekolah ke SMA. Tentu aku harus bekerja. Ibuku seperti orang gila, meratapi kondisi yang ada”.
Ada rasa benci menyelimuti hati Wibi. Wibi benci dengan sosok yang harusnya jadi panutannya. Ia benci pada sosok ayah yang harusnya berusaha untuk memperjuangkan anaknya tetap bisa bersekolah. Wibi tetap ingin berbakti, namun kondisi tidak memungkinkan itu terjadi. Sangat sulit bagi Wibi memaafkan tindakan yang ayahnya lakukan. Semenjak mengenal wanita lain, ayahnya tak pernah bekerja. Kepergiannya hanya untuk foya-foya dan bersenang-senang saja. Setiap hari hanya menjadi bahan cibiran tetangga.
“Kepergianku adalah caraku untuk merawat hati yang tersakiti. Menyembuhkan luka yang menganga karena cinta. Saat itu, aku mencari pekerjaan apa pun yang bisa kulakukan agar aku bisa membayar sekolah. Aku pernah menjadi marbot masjid. Aku juga pernah menjadi tukang sapu. Aku pernah bekerja di toko elektronik dengan gaji empat ribu per hari. Orangtuaku tak peduli dengan lelahnya diri ini berupaya sekuat tenaga demi sebuah pendidikan yang kuyakini akan memberikan perbaikan dalam kehidupan. Cinta telah membutakan mata. Aku heran dengan ibuku yang tetap setia menunggu pria yang sudah tak bisa setia. Apa kau tahu, Zi ? Cinta ibuku yang berlebihan, membuatku terabaikan. Aku kehilangan perhatian. Aku kehilangan kasih sayang. Hatiku sakit. Jiwaku sakit. Sekujur tubuhku juga sakit karena harus membanting tulang demi kelanjutan kehidupan. Aku tumbuh dengan ketegaran hati yang kubangun sendiri. Meski berani, namun aku jadi pribadi yang tidak percaya diri. Terutama karena keterpurukan ekonomi kami juga menimbulkan banyak caci. Pernah suatu hari aku melaksanakan sholat Ashar di masjid besar dekat pasar, saat itu hatiku lebam biru sangat pilu. Tubuhku lelah. Aku rapuh. Hati lelah dengan semua yang terjadi. Aku bingung dengan banyaknya hal yang harus aku cukupi. Ijazah kelulusan yang masih tertahan karena kendala keadministrasian, ibu yang sakit-sakitan dan butuh pengobatan, ayah yang semakin gila dengan selingkuhannya, pekerjaan serabutan yang hanya cukup untuk kebutuhan makan, dan lain sebagainya. Semua berkutat dalam pikiran yang sangat penat. Kenapa ujian datang bertubi dan aku merasa hanya sendiri. Perlahan, satu persatu jama’ah sholat beranjak pergi. Namun tidak dengan diriku saat itu. Hatiku bagai diiris sembilu. Kuangkat kedua tanganku. Saat itu kutahu hanya Tuhan yang selalu ada untukku. Aku duduk bersimpuh. Menangis sejadi-jadinya. Meski mencoba tuk tidak bersuara, namun tak bisa kubendung air mata. Aku terisak. Tergugu pilu. Lama ku berdoa dengan derai air mata. Perutku juga ikut bersuara. Sedari pagi aku belum makan apa-apa. Tiba-tiba seorang bapak paruh baya datang menyapa. Ditepuknya bahuku, “Nak, ada apa?”, sapa sang bapak yang mungkin memperhatikanku dari tadi diam terisak. Aku tak bisa berkata. Lidahku kelu. Aku juga malu. Aku hanya menggelengkan kepala lalu tertunduk dan terisak. “Ini ada sedikit rezeki, barangkali bermanfaat untukmu, nak”, ucap sang bapak.
Amplop putih polos yang tertutup rapat disodorkan kepada Wibi. Wibi berusaha menolak, namun sang bapak memaksa dan akhirnya Wibi menerima. Tuhan datangkan keberkahan tanpa dugaan. Dari kejadian inilah, Wibi semakin dekat dengan Tuhan. Wibi yakin hanya Tuhan yang dapat memberi kesabaran, ketabahan, dan kekuatan.
Derai air mata Wibi semakin deras. Basahi pori pipi. Meski tak tergugu, tapi hatinya merasa sangat pilu. Mengingat perjuangan masa dulu. Segera diusapnya airmata dengan kemeja kerjanya. Seandainya ia bukan pria dewasa, tentu ingin ia menangis meronta-ronta. Berteriak sekuat suara yang ia bisa. Melempar apasaja yang bisa dilemparnya. Wibi mengalihkan emosinya. Dia alihkan pandangan melihat jam tangan. Pukul sembilan lima belas. Sesekali ia memeriksa pesan di telepon genggamnya. Hanya tuk pastikan tak ada chatt tentang pekerjaan yang terlewatkan. Wibi pun melanjutkan ceritanya.
“Hampir setiap hari kudengar suara bertengkar. Aku harus tetap berangkat sekolah dengan hati yang tegar. Ingin rasanya tidak kembali ke rumah. Namun ku tahu, disana ada ibu yang masih membutuhkanku. Cinta memang gila. Cinta membutakan mata dan rasa. Meski disakiti, ibu tetap mencintai orang yang telah mengkhianati”. Wibi menghela napas. Semua sangat penat untuk diingat.
“Seorang ibu adalah jantung rumah tangga, ketika ia rapuh bahkan hancur, maka hancurlah kehidupan keluarga. Banyak hal yang sulit untuk kulupakan. Perihnya bertahan dalam kemiskinan. Bahkan dipandang sebelah mata rasanya sudah biasa. Orangtua biasanya menjadi tempat keluh kesah segala rasa anaknya. Namun tidak denganku yang pada waktu itu masih belia. Orangtua biasanya selalu mendengar, menasehati, dan mendampingi, bahkan jadi tempat mencari solusi, namun tak kudapati hal seperti ini. Ayahku semakin gila dengan selingkuhannya dan ibuku semakin gila dengan cinta butanya. Aku bercermin. Kutatap muka yang berurai airmata. Naluriku berkata, aku korban keegoisan”. Sebenarnya Wibi enggan untuk menceritakan betapa rapuhnya ia pada masa itu. Namun akhirnya Wibi lanjut bercerita.
“Aku harus mengayuh sepeda sejauh 10 kilo per hari untuk berangkat ke sekolah. Saat itu, keluargaku hanya memiliki satu sepeda motor dan sepeda. Sepeda motor selalu dibawa ayahku. Jadi aku yang mengalah untuk berangkat sekolah dengan sepeda. Setelah lulus SMA kuputuskan untuk merantau ke Jakarta. Berusaha memperjuangkan kehidupan. Demi secercah harapan masa depan”.
“Maaf ya Bi, kau jadi mengingat luka lama keluarga”, sambung Zion. Ada rasa kecewa yang mereda dalam dada. Zion tertegun melihat Wibi. Dibalik sikap bersahajanya, ternyata ia menyimpan luka cinta yang menganga.
“Zi, aku tahu kau sangat kecewa. Aku tahu Kasandra membuatmu terluka. Bersabarlah! Tuhan Maha Tahu siapa yang terbaik jadi pendampingmu. Bersyukurlah karena kau tahu bagaimana Kasandra sebenarnya. Akan lebih berat bagimu jika kehilangan kesetiaan dirinya setelah kau menikahinya”, ucap Wibi agar Zion bisa lebih tegar. Mengambil pelajaran dari kisah luka cinta orangtua.
“Ya, kau benar Bi. Aku tak boleh rapuh karenanya. Kehilangan Kasandra bukan akhir segalanya”. Zion berusaha menegarkan hati. Setitik air turun basahi pipi. Diusapnya dengan lengan kemeja panjang yang ia kenakan. Tangisannya adalah cara matanya bicara ketika mulut tak sanggup berkata.
Wibi tersenyum melihat Zion. Berharap Zion kembali mengerti arti sakit hati yang Tuhan beri. Wibi cukup berhasil menghibur Zion dengan cerita pengalaman hidupnya. Meski sebenarnya ia sedikit terpaksa untuk menceritakan lukanya. Terlalu sakit untuk diungkit.
“Zi, percuma menyirami tanaman yang sudah mati. Perasaan Kasandra padamu mungkin sudah mati. Iklaskan saja hati”, lanjut Wibi menyemangati. Ia menepuk pundak sahabatnya itu.
“Zi, dalam cinta, ada masa untuk mengharapnya dan ada waktu untuk berhenti mengharapnya. Ada saat untuk memperjuangkan, namun ada juga masa untuk mengiklaskan. Aku tahu perasaanmu, kehilangan Kasandra memang menyakitkan. Tapi bertahan pada orang yang tak bisa menghargai dan menyanyangimu itu jauh lebih menyakitkan. Menyesakkan dada. Mencabik hati hingga terluka. Bahagia adalah pilihan, bukan paksaan. Kau berhak bahagia tanpa Kasandra”, lanjut Wibi menyemangati.
“Bi, ingat ya, you need not to find someone who will give you all you want. You need not to find someone who will follow you wherever you go. You need not to find someone who can sing all day long when you are in sorrow. You need to find someone who can complete what you have to complete. You need to find someone who can learn and understand you, understand what you feel and what you need”. Wibi berharap Zion mensyukuri yang sudah terjadi. Mengiklaskan rasa, melapangkan dada. Mungkin terasa sangat menyakitkan, namun Wibi ingin Zion setegar batu karang saat laut pasang, tetap kuat dihempas ombak bebas. Bangkit dari sakit dan tidak binasa dalam luka yang menganga. Akankah Zion bisa melewatinya? Mengobati sendiri luka cinta dan menggantungkan semua harapan kepada Tuhan yang Maha Memberi Keadilan. Mengambil pelajaran dari semua kejadian dan mengambil hikmah dari semua kisah.
“Obat luka hati terdalam hanyalah kembali kepada Tuhan”, ucapan Wibi mengakhiri percakapan. Tirta amarta telah menyiram luka.